Dalam dunia yang begitu cepat, begitu banyak tuntutan, begitu banyak tekanan, begitu banyak hal yang menjadikan kita mungkin saja merasa kelelahan.Kelelahan demi kelelahan ini tampak dari kalimat yang sering kita dengar, "hidup itu mengalir saja", atau "go with the flow", atau "kita jalani dulu aja". Ekspresi pasrah dan ketidakberdayaan ini muncul dari kelelahan dan keengganan dalam memilih. Entah pasrah atau hilang arah dalam menjalani hidup.
Tampilkan postingan dengan label hipnosis. Tampilkan semua postingan
10 Hal Yang Sebaiknya Tidak Diucapkan Ke Orang Yang Terpikir Untuk Bunuh Diri
Kamis, 20 April 2017
"Saya mau mati saja!!" Pernah mendengarkan kalimat seperti ini dari teman, keluarga atau kenalanmu? Dan bagaimanapun cara kita membujuk, menenangkan, menasihati, memberi pencerahan, semuanya terdengar sebagai omong kosong intelektual saja oleh orang yang kita sayangi. Sementara kita tidak mampu memahami, bagaimana mungkin dia berpikir demikian? Bagaimana bisa dia terpikir untuk bunuh diri?! Sementara itu kita bersiap untuk menolong dengan kalimat yang kita pikir akan membantu, berhati-hatilah dengan kalimat yang akan kita gunakan nanti. Kita bisa saja membuat dia membuka diri dan mengijinkan kita masuk untuk menolongnya, atau sebaliknya dia menutup pintu rapat rapat dan membunuh dirinya sendiri karena kesalahan kita memilih kata.
Sebelum beranjak lebih jauh tentang kalimat atau sikap apa yang tidak boleh diucapkan dan apa yang sebaiknya dilakukan, saya hanya ingin bertanya, adakah kamu benar peduli dan ingin mendengarkan? Ataukah kamu hanya ingin terlihat benar dan hebat? Dan kemudian menyerang orang yang kamu sayangi? Orang yang sedang terluka tadi kamu hujam dengan kalimat, logika, ayat, perilaku yang kelihatannya logis dapat membantu dia keluar dari pikiran bunuh diri. Namun sebenarnya jauh didalam hatimu kamu tau, bahwa kamu sedang menyerangnya dengan kalimat dan perilakumu. Apa yang kamu katakan itu untuk dirimu, supaya kamu terlihat benar, kamu tidak benar benar ingin menolong.
Sebelum beranjak lebih jauh tentang kalimat atau sikap apa yang tidak boleh diucapkan dan apa yang sebaiknya dilakukan, saya hanya ingin bertanya, adakah kamu benar peduli dan ingin mendengarkan? Ataukah kamu hanya ingin terlihat benar dan hebat? Dan kemudian menyerang orang yang kamu sayangi? Orang yang sedang terluka tadi kamu hujam dengan kalimat, logika, ayat, perilaku yang kelihatannya logis dapat membantu dia keluar dari pikiran bunuh diri. Namun sebenarnya jauh didalam hatimu kamu tau, bahwa kamu sedang menyerangnya dengan kalimat dan perilakumu. Apa yang kamu katakan itu untuk dirimu, supaya kamu terlihat benar, kamu tidak benar benar ingin menolong.
Jika hal itu yang kamu rasakan, saya rasa kamu perlu berhenti untuk berusaha menolong, karena kalimat apapun yang keluar akan menjadi bohong dan terasa seperti omong kosong intelektual. Kamu tidak berniat menolong, kamu hanya ingin terlihat benar dan keren, kamu lah yang perlu ditolong.
Jika kamu sudah pastikan motifmu untuk menolong benar, mari kita lihat 10 kesalahan paling umum dalam mencoba menolong seseorang dengan ide bunuh diri. Karena kalimat kalimat ini mengimplikasikan penghakiman dan ketidakmengertian kita. Namun bergantung dari konteks, motif, cara penyampaian, dan persepsi individual, beberapa orang mungkin berespon positif dengan paling tidak satu kalimat yang secara umum keliru. Mari kita lihat ke 10 hal yang sebaiknya tidak diucapkan kepada orang yang ingin bunuh diri:
Kita terlalu sibuk memikirkan apa yang perlu kita ucapkan, kita katakan, sampai lupa berada bersama sang empunya perasaan disini, kini, hadir sepenuhnya untuk mendengarkan, hanya mendengarkan. Kita terlalu banyak melihat acara motivasi, public speaking, bahkan mungkin terlalu banyak mengikuti pelatihan yang isinya tentang apa yang harus kita katakan dan lakukan. Kita lupa sebuah kemampuan manusia yang sangat sulit walau terkesan mudah, yang belum pernah ada pelatihannya sampai sekarang, yaitu mendengarkan dengan sadar, hanya mendengarkan.
Salam sadar.
Read more at:
Jika kamu sudah pastikan motifmu untuk menolong benar, mari kita lihat 10 kesalahan paling umum dalam mencoba menolong seseorang dengan ide bunuh diri. Karena kalimat kalimat ini mengimplikasikan penghakiman dan ketidakmengertian kita. Namun bergantung dari konteks, motif, cara penyampaian, dan persepsi individual, beberapa orang mungkin berespon positif dengan paling tidak satu kalimat yang secara umum keliru. Mari kita lihat ke 10 hal yang sebaiknya tidak diucapkan kepada orang yang ingin bunuh diri:
- "Bagaimana mungkin kamu terpikir untuk bunuh diri? Hidupmu baik baik saja." Mungkin saja kehidupan dalam dunia nyata seseorang yang mengalami depresi terlihat "baik baik saja". Namun rasa sakit itu terjadi dibawah kehidupan yang biasa saja dia jalani. Dengan memahami bahwa hidup yang terlihat "baik baik saja"pun dapat menyimpan rasa sakit, kita membantu seseorang untuk dimengerti dan diterima sepenuhnya. Bukan dengan menghakimi dan mengabaikan.
- "Apa yang akan terjadi dengan orang orang yang kamu sayangi jika kamu bunuh diri? Kamu akan menyakiti mereka jika bunuh diri". Seseorang yang sedang ingin bunuh diri sudah dipenuhi perasaan bersalah. Menambahkan perasaan bersalah pada tumpukan perasaan bersalah tidak akan membantu mereka keluar dari depresi. Alih alih kesemuanya tadi akan menjadikan mereka merasa tidak diterima dimengerti. Dan, selamat, dia tidak akan membuka diri lebih jauh.
- "Bunuh diri itu egois". Coba rasakan kalimat ini. Jelas ini bukan kalimat untuk mencoba memahami dan mengerti. Kalimat ini adalah kalimat serangan, yang kita tujukan untuk membuat seseorang merasa bersalah. Ada dua hal yang penting disini. Pertama, seseorang yang secara sering ingin bunuh diri sebenarnya sudah berpikir bahwa dalam hidup, mereka telah membebani keluarga mereka. Sehingga dalam kondisi pola pikir yang tidak sehat, seseorang yang ingin bunuh diri berpikir bahwa mereka akan membantu orang yang mereka tinggalkan untuk terbebas dari sebagian beban hidupnya, yaitu hidup sang pengidap depresi ini. Kedua, bukankah sudah menjadi logika sederhana kita semua, bahwa untuk membantu seseorang yang sedang merasakan sakit demikian luar biasa, kita perlu membawanya keluar dari rasa sakit?
- "Bunuh diri itu tindakan pengecut" Kalimat ini mencetuskan rasa malu. Ya, sama tidak masuk akalnya memunculkan rasa malu atau rasa bersalah dapat membantu seseorang dengan depresi. Tindakan bunuh diri memang bukan merupakan tindakan pemberani, namun bukan berarti melabel seseorang dengan pengecut membantu dia menjadi pemberani. Harap logika jangan dibolak balik jika kita benar ingin menolong orang.
- "Kamu tidak benar benar ingin bunuh diri." Biasanya kalimat ini diucapkan karena kecemasan atau ketakutan dari kita yang diajak bicara, namun kalimat ini jelas tidak valid dan cenderung mengabaikan. Anggaplah seseorang yang kita kenal ini benar benar ingin bunuh diri. Dengan mengucapkan kalimat ini, dan mengabaikan pesan serius tentang kematiannya, hal ini lebih menyakitkan baginya karena terabaikan. Ya, kita sedang menyakiti orang yang sudah sakit begitu berat.
- "Kamu masih punya banyak hal untuk disyukuri." Dalam benak kita, dan pada konteks tertentu, kalimat ini bisa saja menggambarkan adanya harapan, rasa syukur. Namun bagi sebagian besar orang depresi, mereka tidak mampu merasakan rasa syukur, tepatnya mereka bahkan tidak bisa merasakan kesenangan. Sehingga kalimat ini tidak lah menggambarkan kondisi pikiran dan perasaan mereka yang sebenarnya,kalimat ini sering sekali dirasakan sebagai omong kosong intelektual. Dan kalimat ini menandakan ketidakmampuan kita untuk memberikan pengertian dan penerimaan.
- "Lihat kebawah, masih ada orang yang lebih tidak beruntung dari kamu." Ya benar, banyak orang yang lebih tidak beruntung dan tidak bunuh diri. Saya terpikir untuk membandingkan dua orang yang terkena luka tusuk, satu orang terkena luka tusuk di paha, dan satu lagi terkena luka tusuk di dada. Ya benar, jauh lebih buruk mengalami luka tusuk di dada, namun bukan berarti yang mengalami luka tusuk di paha tidak mengalami rasa sakit. Rasa sakitnya tetap ada disana, meradang dan merusak. Dan luka yang sudah ada ini kamu tambahkan dengan perasaan malu dari kalimat ini. Seseorang yang ingin bunuh diri sudah terbiasa membandingkan dirinya dengan orang lain, dan mereka merasa gagal dan rusak. Dengan kamu menyuruh dia membandingkan diri dengan orang yang lebih tidak beruntung, kamu sedang membuat pikirannya menjadi semakin benar, bahwa dia adalah orang yang gagal dan rusak.
- "Tuhan tidak pernah memberi pencobaan lebih dari kekuatan umatnya." Lagi, menggunakan ayat untuk menyerang seseorang yang depresi lebih sering mengakibatkan hasil yang kontraproduktif. Dia menjadi semakin merasa bersalah, semakin merasa gagal, semakin merasa malu, yang keseluruhannya menjadikan rasa sakitnya menjadi semakin hebat. Iya saya setuju Tuhan tidak pernah memberi pencobaan lebih dari kekuatan umatnya, namun bukankah bunuh diri itu terjadi karena dia sudah tidak mampu menanggung beban yang sedang dia tanggung? Ketimbang menghakimi, cobalah mengerti dan rasakan sejenak.
- "Kamu akan masuk neraka jika bunuh diri." Anda tidak perlu memberitahu orang yang ingin bunuh diri tentang hal ini, dia sudah sering berpikir tentangnya. Mungkin bagi beberapa orang tidak percaya dengan neraka, mungkin juga mereka berpikir tentang belas kasih Tuhan yang akan mengampuni mereka nanti. Apapun kepercayaan atau ketidakpercayaan mereka, keinginan untuk mati tetap kuat. Mengatakan mereka akan pergi ke neraka, hanya akan mengakibatkan perasaan terkucilkan lebih kuat lagi.
- "Lakukan saja kalau kamu berani." Saya tidak perlu menjelaskan bagian ini. Menantang seseorang yang benar benar ingin bunuh diri adalah cara tercepat untuk dia segera melaksanakan aksinya. Mungkin kamu yakin bahwa dia tidak benar benar ingin bunuh diri, namun seberapa yakinnya kamu cenayanganmu tentang dia itu benar? Bagaimana jika kamu keliru? Tidakkah kamu telah mengambil satu nyawa dari muka bumi?
Kita terlalu sibuk memikirkan apa yang perlu kita ucapkan, kita katakan, sampai lupa berada bersama sang empunya perasaan disini, kini, hadir sepenuhnya untuk mendengarkan, hanya mendengarkan. Kita terlalu banyak melihat acara motivasi, public speaking, bahkan mungkin terlalu banyak mengikuti pelatihan yang isinya tentang apa yang harus kita katakan dan lakukan. Kita lupa sebuah kemampuan manusia yang sangat sulit walau terkesan mudah, yang belum pernah ada pelatihannya sampai sekarang, yaitu mendengarkan dengan sadar, hanya mendengarkan.
Salam sadar.
Read more at:
“How could you
think of suicide? Your life’s not that bad.” Perhaps on the outside the
suicidal person’s life does not seem “that bad.” The pain lies
underneath. It can greatly help a suicidal person to feel understood.
This sort of statement conveys disbelief and judgment, not
understanding.
“Don’t you know I would be devastated if you killed yourself? How
could you think of hurting me like that?” Your loved one already feels
awful. Heaping guilt on top of that is not going to help them feel
soothed, understood, or welcome to tell you more.
“Suicide is selfish.” This inspires more guilt. Two points are
important here. One, many people who seriously consider suicide actually
think they are burdening their family by staying alive. So, in their
distressed, perhaps even mentally ill state of mind, they would be
helping their loved ones by freeing them of this burden. Two, isn’t it a
natural response to excruciating pain to think first of helping oneself
escape the torment?
“Suicide is cowardly.” This inspires shame. It also does not really
make sense. Most people fear death. While I hesitate to call suicide
brave or courageous, overcoming the fear of death does not strike me as
cowardly, either.
“You don’t mean that. You don’t really want to die.” Often said out
of anxiety or fear, this message is invalidating and dismissive. Presume
that the person really does mean that they want to die. It does more
harm to dismiss someone who is truly suicidal than it does to take
someone seriously who is not suicidal, so why not just take everyone
seriously?
“You have so much to live for.” In some contexts, this kind of
statement might be a soothing reminder of abundance and hope. But for
many people who think of suicide and do not at all feel they have much
to live for, this remark can convey a profound lack of understanding.
“Things could be worse.” Yes, things could be worse, but that
knowledge does not inspire joy or hope. I compare it to two people who
are stabbed, one in the chest, one in the leg. It is far worse to be
stabbed in the chest, but that does not make the pain go away for the
person stabbed in the leg. It still hurts. A lot. So even if people who
think of suicide have many good things going for them, even if their
lives could be far worse, they still experience a seemingly intolerable
situation that makes them want to die.
“Other people have problems worse than you and they don’t want to
die.” True, and your loved one may well have already considered this
with shame. People who want to die often compare themselves to others
and come up wanting. They may even feel defective or broken. Comparing
them to others who cope better may only worsen their self-condemnation.
“Suicide is a permanent solution to a temporary problem.” I do know
people, especially teens, for whom this statement was tremendously
helpful. It spoke to them. But it also communicates that the person’s
problems are temporary, when they might be anything but. In such a
situation, a realistic goal for the person might be to learn to cope
with problems and to live a meaningful life in spite of them. The other
problem with this statement is it conveys that suicide is a solution –
permanent, yes, and a solution. At a minimum, I recommend changing the
word “solution” to “act” or “action,” simply to avoid reinforcing that
suicide does indeed solve problems.
“You will go to hell if you die by suicide.” Your loved one has
likely already thought of this possibility. Maybe they do not believe in
hell. Maybe they believe the god they believe in will forgive their
suicide. Regardless, their wish to die remains. Telling them they will
go to hell can exacerbate feelings of alienation
Read more at:
Read more at:
“How could you
think of suicide? Your life’s not that bad.” Perhaps on the outside the
suicidal person’s life does not seem “that bad.” The pain lies
underneath. It can greatly help a suicidal person to feel understood.
This sort of statement conveys disbelief and judgment, not
understanding.
“Don’t you know I would be devastated if you killed yourself? How
could you think of hurting me like that?” Your loved one already feels
awful. Heaping guilt on top of that is not going to help them feel
soothed, understood, or welcome to tell you more.
“Suicide is selfish.” This inspires more guilt. Two points are
important here. One, many people who seriously consider suicide actually
think they are burdening their family by staying alive. So, in their
distressed, perhaps even mentally ill state of mind, they would be
helping their loved ones by freeing them of this burden. Two, isn’t it a
natural response to excruciating pain to think first of helping oneself
escape the torment?
“Suicide is cowardly.” This inspires shame. It also does not really
make sense. Most people fear death. While I hesitate to call suicide
brave or courageous, overcoming the fear of death does not strike me as
cowardly, either.
“You don’t mean that. You don’t really want to die.” Often said out
of anxiety or fear, this message is invalidating and dismissive. Presume
that the person really does mean that they want to die. It does more
harm to dismiss someone who is truly suicidal than it does to take
someone seriously who is not suicidal, so why not just take everyone
seriously?
“You have so much to live for.” In some contexts, this kind of
statement might be a soothing reminder of abundance and hope. But for
many people who think of suicide and do not at all feel they have much
to live for, this remark can convey a profound lack of understanding.
“Things could be worse.” Yes, things could be worse, but that
knowledge does not inspire joy or hope. I compare it to two people who
are stabbed, one in the chest, one in the leg. It is far worse to be
stabbed in the chest, but that does not make the pain go away for the
person stabbed in the leg. It still hurts. A lot. So even if people who
think of suicide have many good things going for them, even if their
lives could be far worse, they still experience a seemingly intolerable
situation that makes them want to die.
“Other people have problems worse than you and they don’t want to
die.” True, and your loved one may well have already considered this
with shame. People who want to die often compare themselves to others
and come up wanting. They may even feel defective or broken. Comparing
them to others who cope better may only worsen their self-condemnation.
“Suicide is a permanent solution to a temporary problem.” I do know
people, especially teens, for whom this statement was tremendously
helpful. It spoke to them. But it also communicates that the person’s
problems are temporary, when they might be anything but. In such a
situation, a realistic goal for the person might be to learn to cope
with problems and to live a meaningful life in spite of them. The other
problem with this statement is it conveys that suicide is a solution –
permanent, yes, and a solution. At a minimum, I recommend changing the
word “solution” to “act” or “action,” simply to avoid reinforcing that
suicide does indeed solve problems.
“You will go to hell if you die by suicide.” Your loved one has
likely already thought of this possibility. Maybe they do not believe in
hell. Maybe they believe the god they believe in will forgive their
suicide. Regardless, their wish to die remains. Telling them they will
go to hell can exacerbate feelings of alienation
Read more at:
Read more at:
Label:
bunuh diri,
depresi,
hipnosis,
hipnoterapi,
psikiatri,
psikologi,
psikoterapi,
solo
Terjebak FriendZone (1)
Kamis, 26 Januari 2017
Pernahkah kamu berusaha mendekati seseorang, kamu pingiiiinnn banget jadi pacarnya, tapi untuk mendekatinya kamu bergerak lebih dahulu menjadi sahabatnya. Atau mungkin memang kamu sudah bersahabat dulu dengan dia, dan dalam perjalanan ada rasa-rasa yang muncul begitu saja dalam dirimu. Kamu pikir karena kamu dan dia sudah begitu dekat, kamu sudah mengenal dia luar dan dalam, kamu tau kesukaannya, hal hal yang dia benci, hobi dan makanan favoritnya, maka dia pasti akan memilih kamu sebagai pacarnya. Dan tiba hari dimana kamu menyatakan perasaan ke dia "Aku mau kamu jadi pacar aku".... Wajahnya yang manis tiba tiba berubah menjadi kosong, dia membutuhkan waktu untuk mencerna kalimat mu yang tidak diduga.. Kamu menunggu dengan penuh harap dan kamu pikir kamu dan dia setelah ini akan menjadi sepasang kekasih... Sayang seribu sayang, kalimat selanjutnya yang muncul dari mulutnya justru "Aku ga bisa, kamu terlalu baik buat aku. Kita tetep jadi sahabat kan". Senyum pahit pun terpaksa kamu pasang di wajah bodohmu itu. Seakan tertimpa palu godam besar tepat di dada, sesak, pedih namun harus mencoba tersenyum... Pernahkah kamu mengalami hal ini? Terjebak dalam pertemanan tanpa bisa kemana mana? Apa yang bisa dilakukan untuk keluar darisana? Bagaimana hipnosis dapat membantu keluar dari jebakan FriendZone? Jangan penasaran dulu ya
Salah satu kesalahan umum dalam memulai hubungan adalah, dengan memulainya sebagai sahabat. Kita pikir karna dia sudah menjadi sahabat kita, nyaman bercerita, kita memahami dia luar dan dalam maka dia akan dengan mudahnya mau menjadi pacar kita. Cerita demikian hanyalah minoritas dikehidupan nyata, walaupun banyak muncul dalam cerita FTV. Untuk menjadi pacar seseorang butuh ketertarikan dan bukan hanyakenyamanan.
Kalau dia tidak tertarik dengan kamu, sia sia lah kenyamanan yang kamu kasi. Kenyamanannya hanya akan berhenti sampai disana saja. Tidak akan ada keinginan untuk menjadikannya lebih jauh. Simple saja, karna dia ga tertarik sama kamu.
Seseorang nyaman denganmu sebagai sahabat. Dilain sisi kamu juga menyediakan semua kebutuhan psikologisnya yang akan dia dapatkan dalam fase pacaran. Kamu memberikan dia perhatian, kasih sayang, salam sapa setiap hari, hadiah, waktu, tanpa dia perlu berusaha. Lalu jika seseorang sudah mendapatkan semuanya tanpa memberikan usaha dan tanpa status, ya wajar saja dia tidak mau menjadi pacarmu, karena jadi pacar atau tidak, dia sudah dapat fasilitas darimu.
Seseorang menganggap kamu sahabat atau teman artinya dia nyaman untuk berteman sama kamu, tidak sama dengan dia nyaman untuk bersama kamu dalam jenjang pacaran, itu dua hal yang sangat berbeda. Jika kamu memang punya tujuan untuk pingin dia jadi pacarmu, ya dari awal set tujuan itu, jangan ngeles mau jadi sahabat dulu lah, aku cuma mau temenan lah. Karna kamu bohong sama dirimu sendiri ya wajar kamu dibohongin sama harapanmu. Buat dia tertarik, bukan dengan sogokan sahabat tapi dengan dirimu yang menarik.
Lalu bagaimana caranya menggunakan hipnosis dalam memperbaiki jebakan FriendZone? Dalam prinsip hipnosis seseorang disebut trans jika dia terasosiasi dengan sesuatu. Dalam jebakan FriendZone kamu sudah terasosiasi dengan sahabatmu dengan label sahabat. Dengan label itu, sulit sekali untuk keluar dari posisi pensupply kenyamanan dan berubah menjadi sosok yang menarik. Oleh karena itu yang pertama harus dilakukan, kamu perlu menghentikan asosiasi dirimu sebagai sahabat dalam pikirannya. Kita perlu trance out dari posisi sahabat dan menjadikannya trance in dengan sosok kita yang menarik. Itu hal pertama yang perlu kamu lakukan. Jika hal ini kamu ga berani lakukan, ya selamat berada dalam jebakan friendzone sampai dia menikah dengan pacarnya yang sekarang.
Masa cuma satu tips saja? Sebenarnya banyak. Tapi kalau ditulis di artikel bisa jadi sangat panjang. Ditunggu saja kelahiran artikel lanjutan atau mungkin berupa seminar atau e-book? Tidak ada yang tahu.
Salam Sadar
Salah satu kesalahan umum dalam memulai hubungan adalah, dengan memulainya sebagai sahabat. Kita pikir karna dia sudah menjadi sahabat kita, nyaman bercerita, kita memahami dia luar dan dalam maka dia akan dengan mudahnya mau menjadi pacar kita. Cerita demikian hanyalah minoritas dikehidupan nyata, walaupun banyak muncul dalam cerita FTV. Untuk menjadi pacar seseorang butuh ketertarikan dan bukan hanya
Kalau dia tidak tertarik dengan kamu, sia sia lah kenyamanan yang kamu kasi. Kenyamanannya hanya akan berhenti sampai disana saja. Tidak akan ada keinginan untuk menjadikannya lebih jauh. Simple saja, karna dia ga tertarik sama kamu.
Seseorang nyaman denganmu sebagai sahabat. Dilain sisi kamu juga menyediakan semua kebutuhan psikologisnya yang akan dia dapatkan dalam fase pacaran. Kamu memberikan dia perhatian, kasih sayang, salam sapa setiap hari, hadiah, waktu, tanpa dia perlu berusaha. Lalu jika seseorang sudah mendapatkan semuanya tanpa memberikan usaha dan tanpa status, ya wajar saja dia tidak mau menjadi pacarmu, karena jadi pacar atau tidak, dia sudah dapat fasilitas darimu.
Seseorang menganggap kamu sahabat atau teman artinya dia nyaman untuk berteman sama kamu, tidak sama dengan dia nyaman untuk bersama kamu dalam jenjang pacaran, itu dua hal yang sangat berbeda. Jika kamu memang punya tujuan untuk pingin dia jadi pacarmu, ya dari awal set tujuan itu, jangan ngeles mau jadi sahabat dulu lah, aku cuma mau temenan lah. Karna kamu bohong sama dirimu sendiri ya wajar kamu dibohongin sama harapanmu. Buat dia tertarik, bukan dengan sogokan sahabat tapi dengan dirimu yang menarik.
Lalu bagaimana caranya menggunakan hipnosis dalam memperbaiki jebakan FriendZone? Dalam prinsip hipnosis seseorang disebut trans jika dia terasosiasi dengan sesuatu. Dalam jebakan FriendZone kamu sudah terasosiasi dengan sahabatmu dengan label sahabat. Dengan label itu, sulit sekali untuk keluar dari posisi pensupply kenyamanan dan berubah menjadi sosok yang menarik. Oleh karena itu yang pertama harus dilakukan, kamu perlu menghentikan asosiasi dirimu sebagai sahabat dalam pikirannya. Kita perlu trance out dari posisi sahabat dan menjadikannya trance in dengan sosok kita yang menarik. Itu hal pertama yang perlu kamu lakukan. Jika hal ini kamu ga berani lakukan, ya selamat berada dalam jebakan friendzone sampai dia menikah dengan pacarnya yang sekarang.
Masa cuma satu tips saja? Sebenarnya banyak. Tapi kalau ditulis di artikel bisa jadi sangat panjang. Ditunggu saja kelahiran artikel lanjutan atau mungkin berupa seminar atau e-book? Tidak ada yang tahu.
Salam Sadar
Hipnoterapi? Bisakah Menyembuhkan Semua Gangguan Kejiwaan?
Kamis, 05 Januari 2017
Mungkin bagi yang masih awam dengan kedua istilah ini, perlu dibedakan antara hipnosis dan hipnoterapi. Hipnosis sendiri merupakan keadaan/ kondisi dimana seseorang lebih mudah tersugesti melalui penembusan faktor kritis bawah sadar, sedangkan hipnoterapi adalah pemanfaatan kondisi hipnosis ini sebagai bentuk terapi psikologis. Hipnoterapi sendiri banyak dilakukan oleh para praktisi hipnoterapi, yang disini dari beragam latar belakang, ada yang berlatar belakang tanpa pendidikan formal sama sekali dalam psikologi dan psikiatri, namun yang baik juga banyak yang memiliki latar belakang yang sesuai dengan praktik hipnoterapi yang dijalani.
Hipnoterapi sendiri merupakan teknik yang powerfull dalam mengatasi beragam gangguan kejiwaan ringan hingga sedang. Pada gangguan jiwa berat hipnosis hanya bersifat sebagai adjuvan atau tambahan, bahkan ada beberapa gangguan yang tidak cocok dan berbahaya jika kita memaksakan menggunakan hipnosis sebagai bentuk terapi.
Lalu apa batasan mana yang bisa menggunakan hipnosis mana yang sebaiknya jangan menggunakan hipnosis? Sebenarnya cukup sulit membedakan keduanya karena batasan antara keduanya cukup sulit dikenali oleh awam, bahkan yang telah menjalani pelatihan sekalipun. Perlu pengalaman klinis dan pendidikan yang cukup lama bagi seorang psikolog dan psikiater memilih untuk menggunakan hipnosis dalam proses terapi. Namun secara sederhana saya akan coba paparkan disini.
Beberapa gangguan jiwa berat membuat seseorang kesulitan dalam menghadapi realita. Munculnya halusinasi pada skizofrenia, epilepsi, bipolar sering sangat sulit dibedakan oleh orang awam yang bisa saja menganggap hal tersebut adalah imajinasi, atau sekedar bayangan, atau mungkin dianggap sebagai pengalaman spiritual. Atau pada kondisi depresi berat dimana perubahan mood sangat menghanyutkan proses pikir pasien, hipnoterapi tidak baik dilakukan dalam kondisi ini.
Hal ini sangat berbahaya sekali karena kegagalan dalam melihat realita, munculnya halusinasi dan ketidaktahuan hipnoterapis bahwa hal ini merupakan indikator gangguan jiwa berat, akan membuat seorang pasien dirugikan jika tetap memaksakan menggunakan hipnoterapi. Hipnoterapi pada gangguan jiwa berat rentan sekali mengakibatkan relaps/kekambuhan, perburukan gejala psikotik (halusnasi, waham dsb), gelisah, bahkan perubahan internal yang tidak bisa diduga. Hal ini mungkin sekali terjadi karena pasien dengan gangguan jiwa berat tidak memproses informasi dengan cara yang sama seperti orang biasa.
Dan hal ini mengakibatkan sugesti sebaik apapun yang disusun dapat dimaknai secara berbeda dan berefek yang tidak baik. Oleh karena itu pada pasien dengan gangguan jiwa berat dengan halusinasi dan waham, hipnosis formal bukanlah merupakan pilihan yang bijak
Beberapa keluarga pasien juga sering menghubungi kami untuk mengatasi berbagai gangguan medik. Entah didapatkan informasi dari reklame pinggir jalan atau brosur di pasar mana, keluarga pasien ini mendapat informasi bahwa hipnoterapi dapat menyembuhkan stroke, diabetes, epilepsi, kanker bahkan anak berkebutuhan khusus.
Jelas ini adalah hal yang keliru, hipnosis secara definisi bekerja dengan menembus faktor kritis kesadaran dan memanfaatkan potensi bawah sadar dalam menyelesaikan persoalan seseorang. Dan hal ini tidak berlaku bagi gangguan medik yang memiliki dasar kelainan organ yang mendasari. Hipnosis bisa digunakan untuk mengurangi nyeri pada pasien kanker namun tidak dapat digunakan untuk menyembuhkan kanker. Hipnosis mungkin (lihat kata mungkin) dapat digunakan untuk membantu pasien post stroke mengatasi hambatan psikologis dalam mendapatkan fungsi motoriknya kembali, namun tidak dapat mengembalikan fungsi motoriknya. Hipnosis bukanlah obat segala bisa untuk menyembuhkan seseorang. Jika demikian tentu tidak ada lagi yang sakit, tinggal gunakan hipnosis untuk semua orang. Namun tidak demikian yang terjadi bukan?
Untuk menentukan apakah gangguan psikologis yang menyertai penyakit medik bisa diterapi menggunakan hipnosis atau tidak, dan apakah hipnosis membawa manfaat pada pasien tersebut atau tidak, adalah ranah psikiater untuk menentukan. Praktisi yang didapatkan dari pelatihan saja tidak akan mampu memilah mana pasien dengan gangguan medik yang bisa dihipnosis dan mana yang tidak. Bijaklah dalam memilih hipnosis untuk membantu pasien/diri kita/
Salam sadar
Label:
gangguan jiwa,
hipnosis,
hipnoterapi,
indikasi,
kontraindikasi,
psikiatri,
psikologi
Social Phobia? Apakah Kamu Termasuk?
Selasa, 20 Desember 2016
Dokter saya kok merasa sangat takut ya kalau jadi pusat perhatian? Misalnya saat presentasi di depan, itu saya pasti selalu menghindar dokter. Atau misalnya saat harus berbicara didepan kelas, atau mungkin saat menjadi imam, pokoknya kalau saya diperhatikan saya takut sekali dokter. Ketika ketakutan itu saya sampai tidak bisa berbuat apa apa dokter. Padahal saya tau saya membutuhkan hal tersebut, saya butuh maju, saya butuh bicara didepan namun rasanya tidak mungkin bagi saya untuk jadi pusat perhatian. Pokoknya saya harus pergi dari sana, karena takut. Saya kenapa ya dokter? Apa saya bisa seperti orang orang lain yang berani?
Label:
cemas,
depresi,
fobia,
hipnosis,
hipnoterapi,
NLP,
phobia,
psychiatry,
psychology,
solo,
sosial
Ahok dan Presuposisi NLP
Senin, 28 November 2016
Apa hubungannya Ahok dan presuposisi NLP? Apalagi itu
makanan NLP? NLP atau Neuro-Linguistic-Programming sejatinya adalah sebuah
kompleksitas hubungan antara bahasa (linguistik), cara berpikir dalam hal ini
otak (neuro) dan program yang berjalan ditengahnya. Tidak perlu membahas NLP
panjang lebar, namun dari kasus yang heboh ramai dimedia sosial akhir-akhir
ini,
Label:
hipnosis,
hipnoterapi,
hypnosis,
hypnotherapy,
jakarta,
NLP,
pilkada,
presuposisi,
psikiatri,
psikologi,
Psikosomatis,
solo
Saya Depresi Dok...
Sabtu, 03 September 2016
"Saya depresi dok, saya lelah dengan semua ini. Semua usaha saya gagal, padahal saya yakin saya mampu. Saya ga bisa lagi merasakan senang. Saya ke pool party hambar, saya dugem juga kosong, hal hal yang dulu buat saya happy saat ini rasanya sia sia, lalu saya ini hidup untuk apa?" Keluh seorang pasien pada psikiater yang mendengarkan dengan seksama, mencoba untuk hadir mengerti dan merasakan penderitaan pasien.
Rasakanlah dan Sembuhlah
Sabtu, 04 Juni 2016
Label:
gestalt,
hipnosis,
hipnoterapi,
humanistic,
Mindfulness,
psikiatri,
psikologi,
psikoterapi,
stress
Beda Level
Selasa, 19 Januari 2016
"Kenapa si dia mau aja pindah kerja dari kerjaannya yang sekarang ke daerah terpencil, disini dia udah mapan, uang banyak, rumah ada, mau nyari pasangan juga gampang, eh malah mau maunya dia ke propinsi antah berantah yang ga ada uangnya itu. Bodoh dia", seru Maman yang sedang membicarakan tindakan temannya Tono yang menurut dia, bodoh.
Black Shadow
Selasa, 29 Desember 2015

Diantara Dua Kutub
Senin, 02 November 2015
"Saya sekarang ga tau untuk apa saya
hidup, semua rasanya percuma dok. Saya mau mati saja" keluh seorang
pemudi, sebut saja Putri, di ruang praktik. Sudah beberapa minggu dia menjalani
hari hari dengan tidak ada semangat, tidak lagi bisa merasa kesenangan, padahal
satu bulan yang lalu dia baru terlihat sangat bahagia, supel, ringan tangan dan
loyal ke teman temannya. Untuk alasan yang tidak jelas tiba tiba dia merasa
sangat terpuruk. Putri memang sudah merasakan ada yang aneh dengan dirinya. Ada
hari hari dimana dia merasa sangat senang, namun ada kalanya dia merasa sangat
sedih tanpa alasan. Ada apa sebenarnya dengan Putri? Adakah masalah yang tidak
diceritakan? Atau adakah hal lain?
"Bipolar", begitu diagnosis
dokter ke Putri. Apa itu Bipolar? Bagaimana bisa Putri didiagnosis Bipolar? Apa
bipolar bisa sembuh? Apa tanda terkena bipolar? Bagaimana mengatasinya?
Apakah Saya Psikosomatis?
Selasa, 20 Oktober 2015
Alkisah datanglah seorang wanita paruh baya dengan nyeri perut yang sulit hilang saat malam hari. "Dokter perut saya sakit, minta suntik biar cepet sembuh". Ini adalah kunjungannya yang ketiga kali dalam minggu ini ke dokter yang berlainan terus. "saya udah berkeliling dokter ga pernah ada yang sembuh dok". Keluhnya yang seakan mau menyerah berobat. Psikosomatis, itu kata dokter saat ini. Cukup ceritakan masalah ibu, ibadah, dan ibu akan sembuh. Apa benar demikian? Bahkan si ibu tidak tahu apa masalah yang mengganggu dirinya. Lalu keluarlah ibu ini dengan bingung dan merasa tidak berdaya, dan membuat perutnya semakin sakit
Secondary Gain
Sabtu, 11 Juli 2015

Apakah Uang Bisa Membuatmu Bahagia?
Minggu, 08 Maret 2015
Banyak orang, entah laki laki atau perempuan, bekerja dari pagi sampai malam, terus menerus setiap hari untuk mencari uang. Jauh di dalam angan angan, kita berharap nanti ketika uang kita sudah banyak kita bisa belanja ini itu, pergi kesana kemari, bermain dan bersenang senang dengan uang. Namun apakah pencarian kebahagiaan ini layak diperjuangkan hingga siang malam setiap hari? Apakah kebahagiaan tidak bisa dicapai sekarang? Dengan atau tanpa uang? Mari kita lihat apa kata studi terkait.
1. Belanja Pengalaman Vs Belanja Barang
Amit Kumar dalam jurnal Psychological Science mengatakan bahwa berbelanja pengalaman (jalan jalan, backpacker, hiking, dan sejenisnya) menghasilkan kebahagiaan yang lebih menetap daripada berbelanja barang (smartphone, tablet, baju, lipstick, tas, dsb). Sensasi dari pengalaman menunggu berbelanja pengalaman lebih menghasilkan kesenangan dan kepuasan daripada menunggu barang yang bagus. Sederhana saja, pasti kita lebih happy, tegang, seru menunggu datangnya hari untuk jalan jalan ke Lombok daripada tegang, cemas, khawatir menunggu gadget/baju dikirim dari online shop. Belum lagi ditambah ketika barangnya datang tidak sesuai dengan keinginan kita, bertambah poin minus untuk kesenangan kita. Jadi dalam hal ini, pakailah uang yang lebih membuatmu bahagia, siapkan tiket jalan jalan, makan malam, nonton konser daripada menghabiskan uang belanja barang materi.
Dorongan untuk ganti gadget, beli sepatu yang ga perlu, yuk dikurangi bersama. Toh sebenarnya kita tahu sama tahu bahwa kita ga butuh, dan kebahagiaan yang dibeli dari cara itu ternyata sangat singkat. Daripada menghabiskan uang dan bahagianya sedikit, lebih baik kita beli kebahagiaan yang berlangsung lebih lama.
2. Kemiskinan dan Kebahagiaan
Bisakah orang miskin bahagia? Apakah kebahagiaan hanya milik orang kaya? Dari reality show di sebuah televisi swasta sebenarnya sudah bisa kita jawab. Di sebuah reality show "Tolong", selalu digambarkan seseorang yang berjalan jalan meminta tolong kepada orang secara random, permintaan tolongnyapun sedikit sulit dan tidak wajar. Ingat kan?
Nah dilihat dari Personality and Social Psychology Bulletin menjelaskan bahwa kemapanan materi dan pengalaman berimbas pada berkurangnya kemampuan seseorang untuk menikmati kebahagiaan kebahagiaan kecil. Kemapanan dan kekayaan dan mengurangi kemampuan seseorang dalam menghargai sesuatu dan mengurangi kemampuan seseorang menjaga emosi yang positif dalam menjalani pengalaman sehari hari.
Berlawanan dengan kemapanan dan kekayaan, memiliki pengalaman berkekurangan di masa lalu atau masa sekarang meningkatkan kemampuan seseorang untuk menikmati momen momen setiap hari. Quoidbach dari Social Psychological and Personality Science mengatakan, "mengingatkan seseorang tentang masa depan yang tidak bisa ditebak, bisa membuat seseorang berhenti dari aktivitasnya dan menikmati harumnya sebuah bunga". Memberi dari apa yang kita miliki bisa menjadi jalan efektif untuk mencapai kebahagiaan. Dan berkubang di kemapanan dan kekayaan jelas bukan jalan produktif jika kita mencari kebahagiaan. Nah sekarang ingat akhir dari acara Tolong, siapa kebanyakan yang memberi pertolongan? Mereka yang berkekurangan atau mereka yang berkelimpahan?
3. Orang Kaya Pasti Bahagia?
Banyak orang percaya bahwa dengan menjadi kaya, maka otomatis kita bahagia. Sekarang lihat sekitarmu, mana orang yang sedang mengejar kekayaan bisa terlihat bahagia? Pergi pagi pulang malam, anaknya diurus oleh babby sitter, makanan diurus oleh pembantu, bahkan sekedar duduk bercengkrama saat makan malam saja merupakan hal yang jarang dilakukan. Berdasarkan studi dari Harvard Business School, the University of Mannheim dan Yale University, orang yang (sudah) kaya berpikir bahwa memiliki uang 3-4 kali lipat dari yang dimiliki sekarang akan memberikan skor 10 dalam kebahagiaan mereka, termasuk para bilioner berpikir demikian.
Dan sangat menarik, orang orang kaya ini berapapun penghasilannya, entah 1juta dolar atau 10 juta dolar, tidak bertambah bahagia ketika kekayaannya bertambah (Norton, 2015). Studi ini mengajarkan sesuatu yang menarik, kebahagiaan ternyata tidak berhubungan dengan kekayaan dan bahkan semakin penghasilan kita bertambah ada kecenderungan kita menjadi kurang bahagia.
Sebagian besar dari kita ketika membaca judul ini pasti sudah bisa menjawab "Ah uang kan memang tidak bisa membuat bahagia". Tapi kita tetap hidup dengan cara sekarang, bekerja dengan ga wajar seperti sekarang, dan lupa caranya hidup bahagia. Lewat tulisan ini mari kita melihat ke dalam bersama sama, apa yang sedang kita kerjakan sekarang? Berhenti sejenak dan lihat ke dalam: Sudahkah saya bahagia? Jika belum, berbahagialah sekarang, jangan tunda. Salam sadar.
1. Belanja Pengalaman Vs Belanja Barang
Amit Kumar dalam jurnal Psychological Science mengatakan bahwa berbelanja pengalaman (jalan jalan, backpacker, hiking, dan sejenisnya) menghasilkan kebahagiaan yang lebih menetap daripada berbelanja barang (smartphone, tablet, baju, lipstick, tas, dsb). Sensasi dari pengalaman menunggu berbelanja pengalaman lebih menghasilkan kesenangan dan kepuasan daripada menunggu barang yang bagus. Sederhana saja, pasti kita lebih happy, tegang, seru menunggu datangnya hari untuk jalan jalan ke Lombok daripada tegang, cemas, khawatir menunggu gadget/baju dikirim dari online shop. Belum lagi ditambah ketika barangnya datang tidak sesuai dengan keinginan kita, bertambah poin minus untuk kesenangan kita. Jadi dalam hal ini, pakailah uang yang lebih membuatmu bahagia, siapkan tiket jalan jalan, makan malam, nonton konser daripada menghabiskan uang belanja barang materi.
Dorongan untuk ganti gadget, beli sepatu yang ga perlu, yuk dikurangi bersama. Toh sebenarnya kita tahu sama tahu bahwa kita ga butuh, dan kebahagiaan yang dibeli dari cara itu ternyata sangat singkat. Daripada menghabiskan uang dan bahagianya sedikit, lebih baik kita beli kebahagiaan yang berlangsung lebih lama.
2. Kemiskinan dan Kebahagiaan
Bisakah orang miskin bahagia? Apakah kebahagiaan hanya milik orang kaya? Dari reality show di sebuah televisi swasta sebenarnya sudah bisa kita jawab. Di sebuah reality show "Tolong", selalu digambarkan seseorang yang berjalan jalan meminta tolong kepada orang secara random, permintaan tolongnyapun sedikit sulit dan tidak wajar. Ingat kan?
Nah dilihat dari Personality and Social Psychology Bulletin menjelaskan bahwa kemapanan materi dan pengalaman berimbas pada berkurangnya kemampuan seseorang untuk menikmati kebahagiaan kebahagiaan kecil. Kemapanan dan kekayaan dan mengurangi kemampuan seseorang dalam menghargai sesuatu dan mengurangi kemampuan seseorang menjaga emosi yang positif dalam menjalani pengalaman sehari hari.
Berlawanan dengan kemapanan dan kekayaan, memiliki pengalaman berkekurangan di masa lalu atau masa sekarang meningkatkan kemampuan seseorang untuk menikmati momen momen setiap hari. Quoidbach dari Social Psychological and Personality Science mengatakan, "mengingatkan seseorang tentang masa depan yang tidak bisa ditebak, bisa membuat seseorang berhenti dari aktivitasnya dan menikmati harumnya sebuah bunga". Memberi dari apa yang kita miliki bisa menjadi jalan efektif untuk mencapai kebahagiaan. Dan berkubang di kemapanan dan kekayaan jelas bukan jalan produktif jika kita mencari kebahagiaan. Nah sekarang ingat akhir dari acara Tolong, siapa kebanyakan yang memberi pertolongan? Mereka yang berkekurangan atau mereka yang berkelimpahan?
3. Orang Kaya Pasti Bahagia?
Banyak orang percaya bahwa dengan menjadi kaya, maka otomatis kita bahagia. Sekarang lihat sekitarmu, mana orang yang sedang mengejar kekayaan bisa terlihat bahagia? Pergi pagi pulang malam, anaknya diurus oleh babby sitter, makanan diurus oleh pembantu, bahkan sekedar duduk bercengkrama saat makan malam saja merupakan hal yang jarang dilakukan. Berdasarkan studi dari Harvard Business School, the University of Mannheim dan Yale University, orang yang (sudah) kaya berpikir bahwa memiliki uang 3-4 kali lipat dari yang dimiliki sekarang akan memberikan skor 10 dalam kebahagiaan mereka, termasuk para bilioner berpikir demikian.
Dan sangat menarik, orang orang kaya ini berapapun penghasilannya, entah 1juta dolar atau 10 juta dolar, tidak bertambah bahagia ketika kekayaannya bertambah (Norton, 2015). Studi ini mengajarkan sesuatu yang menarik, kebahagiaan ternyata tidak berhubungan dengan kekayaan dan bahkan semakin penghasilan kita bertambah ada kecenderungan kita menjadi kurang bahagia.
Sebagian besar dari kita ketika membaca judul ini pasti sudah bisa menjawab "Ah uang kan memang tidak bisa membuat bahagia". Tapi kita tetap hidup dengan cara sekarang, bekerja dengan ga wajar seperti sekarang, dan lupa caranya hidup bahagia. Lewat tulisan ini mari kita melihat ke dalam bersama sama, apa yang sedang kita kerjakan sekarang? Berhenti sejenak dan lihat ke dalam: Sudahkah saya bahagia? Jika belum, berbahagialah sekarang, jangan tunda. Salam sadar.
Langganan:
Postingan (Atom)