Sampah Emosi?


Emosi sering digambarkan sebagai sampah yang ditimbun dan perlu dibuang, makin lama ditimbun makin berbahaya sehingga perlu dikeluarkan

Ini metafora yang baik dalam menjelaskan bahwa kita ga baik jika memendam emosi terus menerus, tapi metafor ini tidak menggambarkan sifat emosi


Berbahayanya metafora ini

Seakan ketika emosi hadir, maka apapun respon pikiran sesaat untuk memuaskannya, maka itu perlu dilakukan. Seakan ga ada ruang untuk memenuhi kebutuhan emosi dengan cara lain. Padahal ga jarang reflek perilaku pada itu malah menyulitkan diri sendiri

Ini metafora yang sering saya sampaikan di ruang praktek,

Jadi ceritanya saya mau nyebrang jalan yang rame banget, ngebut ngebut pula pengendaranya. Saya perlu banget nyebrang karna mau beli obat. Lalu muncullah emosi “TAKUT”. Naluri saya saat itu adalah “diam” ga jadi nyebrang atau di waktu lain kalau agak sepi naluri saya bisa berubah menjadi “berlari” biar cepet sampe ke apotek sebrang buat beli obat. Perhatikan, baik saya “diam” atau “berlari”, keduanya akan membuat saya jatuh dalam masalah. Entah bisa jadi obatnya ga kebeli, atau saya kecelakaan

Emosi adalah respon tubuh, dalam hal ini “takut” adalah emosi yang muncul karena respon tubuh terhadap adanya ancaman. Karena itu ada naluri untuk “diam” atau “berlari” yang malah berbahaya jika tidak disadari. Tapi mari coba sadari, apa si sebenernya fungsi rasa takut?

Fungsi rasa takut nyebrang sebenarnya sederhana, supaya saya tidak ditabrak. Titik.

Oleh karena itu seandainya ada cara kita bisa membuat diri aman tidak ditabrak, dan tetap pergi beli obat, maka rasa takut tidak lagi mengganggu dan tujuan bisa tercapai. Caranya? Banyak

Cari lampu merah, apotek lain, pak polisi buat bantu nyebrangin, jembatan penyebrangan, dan buanyak cara lain. Ini semua adalah cara memenuhi kebutuhan emosi. Kebutuhan untuk ga ditabrak.

Jadi bukan hanya sekadar dipuaskan, tapi disadari apa kebutuhan emosi ini?

Sedih, marah, kecewa, kesepian, sayang, dsb, semua emosi punya kebutuhan. Tapi cara kita memenuhi kebutuhan tersebut bisa tidak baik untuk kita. Pertanyannya, sadarkah kita apa kebutuhan emosi kita? Sehingga kita bisa penuhi kebutuhannya dengan cara yang baik

Tidak ada komentar